Jika melihat masyarakat kita sekarang ini maka akan timbul
pertanyaan, mengapa banyak sekali masyarakat Indonesia yang bertingkah laku dan
berkelakuan negatif, paadahal tidak jarang dan bahkan bnayak para pelaku itu
mempunyai pendidikan yang tinggi. Kalau dilihat dari faktor pendidikan,
seharusnya seseorang yang mempunyai pendidikan tidak akan bertindak yang
bukan-bukan dan bisa menjadi contoh bagi orang lain disekitarnya yang mungkin
kurang dalam hal pendidikannya. Tapi mengapa kelakuan atau akhlak mereka tidak
lebih atau bahkan jauh berada dibawah dari orang yang tidak berpendidikan.
Mungkin hal inilah yang menjadi kekhawatiran para tokoh-tokoh
dunia, seperti Mahatma Gandhi yang memperingatkan tentang salah satu tujuh dosa
fatal, yaitu “education without character”(pendidikan tanpa karakter).
Begitu pula, Dr. Martin Luther King yang pernah berkata: “Intelligence plus
character….that is the goal of true education” (Kecerdasan plus
karakter….itu adalah tujuan akhir dari pendidikan sebenarnya). Juga Theodore Roosevelt yang
mengatakan: “To educate a person in mind and not in morals is to educate a
menace to society” (Mendidik seseorang dalam aspek kecerdasan otak dan
bukan aspek moral adalah ancaman mara-bahaya kepada masyarakat). Bahkan
pendidikan yang menghasilkan manusia berkarakter ini telah lama
didengung-dengungkan oleh tokoh pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara,
dengan pendidikan yang berpilar kepada Cipta, Rasa dan Karsa. Bermakna bahwa
pendidikan bukan sekedar memberikan pengetahuan (knowledge) tetapi
juga mengasah afeksi moral sehingga menghasilkan karya bagi kepentingan ummat
manusia.
Setiap anak yang tumbuh dan berkembang, sebelum ia mengalami
proses pendidikan di sekolah, sejatinya berasal dari rumah tempat ia menjalani
hari-harinya bersama keluarga. Karena itu orangtualah yang memegang peran yang
sangat penting dalam hal pendidikan anak, walaupun ada beberapa kondisi yang
menyebabkan anak tidak bisa mendapatkan pendidikan dari orang tuanya, seperti
anak yatim piatu semenjak lahir, anak yang dibuang oleh orang tuanya dan
lainnya. Tetapi dalam kondisi normal, orang tua merupakan pendidik anak yang
pertama dan utama. Bahkan dalam Al-Qur’an serta Sunnah banyak sekali ditegaskan
tentang pentingnya mendidik anak bagi para orang tua. Anak yang terdidik dengan
baik oleh orang tuanya akan tumbuh menjadi anak yang pandai menjaga dirinya
dari pengaruh buruk lingkungan, karena ia telah dibekali oleh ilmu tentang
hidup dan kehidupan yang di dalamnya terdapat ilmu yang paling bermanfaat yaitu
ilmu agama.
Pendidikan di Indonesia pada saat ini cenderung lebih
mementingkan aspek akademis tanpa menghiraukan akhlak dan moral para peserta
didik. Sebagai contoh, seseorang murid SMU yang nakal dan sering tawuran dapat
lulus dari SMU dan meneruskan keperguruan tinggi hanya karena nilainya
mencukupi standar kelulusan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Kemudian apa
yang akan terjadi apabila Negara Indonesia ini dipimpin oleh orang yang hanya
mempunyai nilai akademis yang tinggi tapi tidak bermoral. Hal itu bisa dilihat
dalam media masa yang sering memberitakan banyak kasus KKN yang membelit para
pemangku negeri ini. Banyak pejabat yang diberi tanggung jawab oleh masyarakat
malah meyalahgunakan wewenangnya, ini menunjukan moral orang Indonesia banyak
yang masih randah meskipun pendidikannya sudah tinggi dan lebih buruknya yang
melakukan adalah orang setingkat mentri dan gubernur.
Hal ini sangat miris sekali mengingat Indonesia dahulu
seperti diceritakan sebelumnya adalah bangsa dengan segudang karakter yang
baik, namun sekarang kenyataannya terbalik. Ada yang salah tentunya disini.
Entah apa dan siapa yang patut dipersalahkan. Akan tetapi, siapapun tentu tak
ingin dijadikan tersangka atas semua hal ini. Tak ada jalan terbaik kecuali
kita semua bersama-sama mulai dari hal yang kerap dianggap remeh untuk
melakukan perbaikan terhadap karakter bangsa ini. Bila dibiarkan lebih jauh
bukan tidak mungkin kita akan kehilangan jati diri kita sebagai bangsa yang
berkarakter.
Salah satu solusi atas kekhawatiran kita terhadap kondisi
bangsa ini adalah menggalakan pendidikan karakter sejak sekarang. Sebuah upaya
yang bisa kita lakukan untuk mengurangi degradasi moral yang kini tengah
melanda. karakter itu sama halnya dengan akhlak di dalam Islam. Karakter dapat
dikatakan sebagai tindakan refleks yang dilakukan seseorang tanpa butuh
perenungan dan pemikiran terlebih dahulu yang merupakan buah dari
kebiasaan-kebiasaan terdahulu, baik itu kebiasaan baik maupun buruk. Kebiasaan
tersebut berakumulasi hingga menjadi karakter. Dengan memahami batasan karakter
tentu kita akan mudah memahami pengertian pendidikan karakter.
Pendidikan karakter dapat dipahami sebagai sebuah proses
penginternalisasian nilai-nilai karakter agar dipahami oleh objek pendidikan
karakter tersebut sehingga mampu tercermin dalam prilakunya sehari-hari.
Pendidikan karakter tidak terbatas hanya teori saja melainkan yang diharapkan
adalah tindakan nyata berupa pembiasan-pembiasan yang ujungnya mengkristal di
dalam dirinya berupa karakter-karakter baik.
Penerapan pendidikan karakter dalam rangka mewujudkan moral
bangsa yang baik perlu dukungan dari berbagai pihak dan pihak yang paling
central tentunya adalah pemerintah itu senddiri. Namun, kita semua dengan latar
belakang profesi yang berbeda pun bisa ikut berkontribusi dalam hal ini. Guru
memang menempati posisi paling strategis sebagai aktor yang bisa menularkan
virus-virus pendidikan karakter ini kepada para siswanya. Dalam penyampaian
bahan pembelajaran apabila guru sadar dan memiliki rasa tanggung jawab tinggi
bisa diselipkan pendidikan karakter. Mengajak siswa berlaku jujur, sopan,
menghargai pendapat orang lain ini tanpa disadari merupakan upaya nyata
menerapkan pendidikan karakter.
Penulis :
Nur Hadi (1320410045), Mahasiswa
Program Pasca Sarjana Program studi pendidikan Islam Konsentrasi
Pendidikan Agama Islam semester 1, PAI kelas C.
Di susun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah :
Politik dan Kebijakan Pendidikan Islam di Indonesia, Dosen Pengampu : Dr.
Hamdan Daulay, M. Si