Sabtu, 30 April 2011

PROBLEMATIKA PENDIDIKAN DI INDONESIA


















Problematika pendidikan

        Masalah pendidikan di negeri ini memang tak ada habisnya untuk dibahas. Ada istilah yang dapat di sebutkan sebagai pendidikan sama rata sama rasa. Pendidikan sama rata sama rasa ini masih berkiblat pada UN. UN yang soalnya sama seluruh Indonesia sebenarnya secara teori itu baik agar siswa merasa diperlakukan adil namun sebenarnya secara praktik soal yang sama seluruh Indonesia bukanlah hal yang baik. Kenapa? karena pendidikan antara Jawa dan luar Jawa, Kota dan desa begitu berbeda. Jangan bilang bahwa guru harusnya lebih bisa kreatif, mudah mengatakan itu. Namun ketika mengajar di daerah dengan fasilitas yang sangat seadanya dan untuk menuju sekolahnya harus jalan kaki, naik perahu, naik gunung, melewati sungai dan lainnya dan itu tidak sepadan gaji yang diterima. Lalu akan ada yang berkata, Kan sudah ada sertifikasi? Benarkah sertifikasi sudah menyentuh semua guru yang ada di pedalaman atau hanya sampai pada guru yang ada di kota saja. Itu baru masalah sarana dan prasarana yang sangat berbeda antara kota dan desa.
        Faktor ekonomi siswa juga menjadi faktor penentu bahwa pendidikan tidak bisa di samarata dan di samarasa. Kalau di kota, mungkin rata-rata orang tuanya mampu untuk membiayai sekolah jadi anaknya memang bisa dikhususkan untuk belajar saja, tapi tidak di desa. Dengan keterbatasan ekonomi orangtuanya, terkadang mereka harus membantu untuk bekerja demi sesuap nasi dan pada akhirnya mereka akan ijin tidak masuk sekolah. Dengan perbedaan yang begitu besar antara Jawa dan Luar Jawa, Kota dan Desa, haruskah soal UN itu disamakan dan pada akhirnya hanya akan menjadi beban bagi guru-guru di daerah karena mereka merasa tak mampu mengikuti target yang ditentukan karena keterbatasan sarana dan prasarana, tingkat pemahaman siswa, keadaaan ekonomi siswa dan lainnya.
        Hal-hal di atas tersebut belum lagi terkait isi perangkat pembelajaran yang digunakan juga berbeda karena harus disesuaikan dengan kondisi sekolah masing-masing. Perangkat pembelajarannya saja disesuaikan dengan kondisi sekolah masing-masing lalu kenapa soalnya harus sama rata sama rasa. Padahal kemampuan individu setiap siswa pasti berbeda-beda khususnya dalam bidang IQ nya yang memang di sekolah-sekolah kebanyakan lebih di tonjolkan di banding yang EQ dan SQ nya. Daya tangkap pelajaran setiap siswa pasti berbeda-beda, ada sekali di jelaskan langsung bisa paham tapi ada pula beberapa kali di jelaskan belum tentu bisa langsung paham. Jika untuk memahami pelajaran saja sulit pasti akan tertinggal oleh teman-temannya lalu ketika akan mengerjakan UN akan kurang bisa maksimal hasilnya.

        Sekarang pendidikan sudah berorientasi pada hasil, lihatlah bagaimana nilai UN yang menjadi standar kelulusan. Siswa bisa dinyatakan lulus apabila telah memenuhi nilai minimal UN, tak peduli bagaimana hasil belajar siswa selama tiga tahun. Hasil akhir berupa Nilai UN menjadi harga mati bagi para siswa untuk bisa lulus namun tidak mengindahkan bagaimana cara mereka mendapatkan nilai itu. Setiap kali UN mau digelar, entah dari mana datangnya tiba-tiba saja tersebar bocoran jawaban UN padahal UN sendiri belum dilaksanakan.
        Belum lagi masalah ketika ada guru yang dengan sengaja membantu siswanya agar bisa lulus dengan memberikan jawaban UN atau dengan cara mengubah jawaban siswa sebelum hasil UN itu dikirim. Selalu ada kecurangan setiap kali digelar UN, entah kenapa itu bisa terjadi?. Pendidikan kita tak peduli proses bagaimana mereka bisa mencapai hasil tapi lebih menyukai hasilnya. Pendidikan semacam ini sebenarnya secara tidak langsung mengajar pada siswa bahwa apapun cara selama bisa mencapai hasil yang baik maka itu sah-sah saja. Jadi, jangan salahkan siswa yang ketika sudah besar mendadak jadi koruptor karena mereka ‘sukses’ menimba ilmu tentang pendidikan hasil, apapun caranya yang penting bisa kaya. Secara tidak sadar dan tidak langsung sistem pendidikan yang seperti demikian telah mengajarkan anak didik kita hanya ntuk mencari instannya saja. Sesuatu yang tidak sesuai prosedur yang benar hasilnya juga tidak akan maksimal.
        Jika sistem pendidikan banyak kekurangan dan sulit atau bahkan tidak mungkin untuk di rubah kembali, maka harapan yang paling baik yakni ada pada orang yang berperan sebagai pendidiknya atau gurunya. Guru atau peserta didik harus bisa menjadi peserta didik yang profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan serta melakukan penilaian dan pengabdian kepada masyarakat.
        Guru sebagai pendidik profesional diidealkan mampu menjadi agen pembelajaran yang edukatif, yaitu mampu menjadi fasilitator, motivator, pemacu, perekayasa dan inspirator pembelajaran.
Sebagai fasilitator pembelajaran, berarti pendidik :
1. Membantu memudahkan dan membantu peserta didik dapam belajar.
2. Tidak berperan sebagai satu-satunya sumber belajar, melainkan berperan sebagai salah satu sumber belajar.
3. Berupaya memberdayakan sumber daya peserta didik sehingga mereka dapat berkembang optimal.