Minggu, 17 Mei 2015

Pendidikan Sebagai Media Pengembangan Kualitas Bangsa



Pendidikan Sebagai Media Pengembangan Kualitas Bangsa


Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Politik dan Kebijakan Pendidikan Islam di Indonesia
Dosen Pengampu : Dr. Hamdan Daulay, M. Si

Disusun Oleh :
Nur Hadi
NIM : 1320410045



KONSENTRASI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
 YOGYAKARTA
2013

A.    Pendahuluan
Dunia pendidikan akhir-akhir ini menjadi perhatian banyak kalangan khususnya di negara sedang berkembang. Pada awal melakukan pembangunan ada pertentangan prioritas untuk membangun sarana prasarana fisik, ekonomi dan nonfisik (pendidikan). Kepentingan fisik umumnya lebih menonjol dibandingkan dengan kepentingan yang lain di awal melakukan pembangunan. Hal ini didasarkan oleh kepentingan terhadap kemudahan menilai keberhasilan suatu bangsa.
Tujuan pendidikan yang kita harapkan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap, mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan”. Pendidikan harus mampu mempersiapkan warga negara agar dapat berperan aktif dalam seluruh lapangan kehidupan, cerdas, aktif, kreatif, terampil, jujur, berdisiplin dan bermoral tinggi, demokratis dan toleran dengan mengutamakan persatuan bangsa dan bukannya perpecahan.
Pendidikan sudah sepatutnya menentukan masa depan suatu negara. Bila visi pendidikan tidak jelas, yang dipertaruhkan adalah kesejahteraan dan kemajuan bangsa. Visi pendidikan harus diterjemahkan ke dalam sistem pendidikan yang memiliki sasaran jelas dan tanggap terhadap masalah-masalah bangsa. Karena itu, perubahan dalam subsistem pendidikan merupakan suatu hal yang sangat wajar, karena kepedulian untuk menyesuaikan perkembangan yang disesuaikan dengan perkembangan zaman. Sudah seharusnya sistem pendidikan tidak boleh jalan di tempat, namun setiap perubahan juga harus disertai dan dilandasi visi yang mantap dalam menjawab tantangan zaman.
Pembangunan fisik mudah ditargetkan dari segi waktu dan nampak nyata hasilnya sehingga mudah melakukan pengukurannya. Sebaliknya pembangunan yang menyentuh di bidang kemampuan manusia sulit ditargetkan dalam waktu yang singkat. Disamping itu juga sulit diukur karena hasil pendidikan adalah kemampuan manusia yang didik, dimana kemampuan seseorang itu berkembang terus seiring dengan perjalanan hidupnya.[1]

B.     Pendidikan kunci kualitas bangsa
Secara filosofi Socrates menegaskan bahwa pendidikan merupakan proses pengembangan manusia ke arah kearifan (wisdom), pengetahuan (knowledge) dan etika (conduct). Sehingga membangun aspek kognitif, afektif dan psikomotorik secara seimbang dan berkesinambungan adalah nilai pendidikan yang paling tinggi.[2]
Pendidikan merupakan sarana strategis untuk meningkatkan kualitas suatu bangsa, karenannya kemajuan suatu bangsa dapat diukur dari kemajuan pendidikannya. Kemajuan beberapa negara di dunia ini tidak terlepas dari kemajuan yang di mulai dari pendidikannya, pernyataan tersebut juga diyakini oleh bangsa ini. Karena itu pendidikan harus mampu melahirkan lulusan-lulusan bermutu yang memiliki pengetahua, menguasai teknologi dan mempunyai kemampuan tekhis yang memadai. Pendidikan juga harus menghasilkan tenaga-tenaga profesional yang memiliki kapasitas dan kapabilitas kemampuan berwirausaha yang menjadi salah satu pilar utama aktivitas perekonomian nasional. Bahkan peran pendidikan menjadi sangat penting dan strategis untuk meningkatkan daya saing nasional dan membangun kemandirian bangsa, yang menjadi prasyarat mutlak dalam memasuki pesaingan antar bangsa.[3]
Dengan jumlah pendudukan yang banyak setidaknya pemerintah dapat memberdayakannya sebagai kekuatan perubahan bagi bangsa ini, dengan cara memberi perhatian ekstra kapada peningkatan SDM. Jika pemerintah bisa menggarap dengan sebaik-baiknya, maka peningkatan kualitas sumber daya manusia akan benar-benar terwujud dan bangsa ini akan maju.  Jadi sangat disayangkan apabila jumlah penduduk itu disia-siakan begitu saja. Pemerintah juga sangat memprioritaskan masalah pendidikan, yang dapat dibuktikan dengan adanya UUD 45 pasal 31 ayat 4 yang berbunyi “negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan  belanja serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggara pendidikan” bagi masyarakat.
Memang pemerintah telah memprioritaskan masalah pendidikan dengan mendirikan banyak sekolah negeri, bahkan pernah dicanangkan program sekolah harus didirikan pada setiap kecamatan, dari sekolah dasar sampai sekolah lanjutan atas. Hal ini untuk memberikan kesempatan masyarakat menyekolahkan anak-anaknya di sekolah tersebut, kesempatan memang terbuka lebar untuk mengikuti proses belajar di sekolah negri, tetapi semua itu menjadi sesuatu yang kontradiksi saat mereka harus menyetor sejumlah dana agar dapat mengikuti pendidikan di sekolah negeri tersebut.
Bantuan operasional sekolah (BOS) yang sering canangkan oleh pemerintah ternyata kurang bisa membantu masyarakat  miskin untuk menikmati bangku sekolah, BOS justru digunakan oleh beberapa sekolah untuk menarik sumbangan dengan berbagai alasan mengapa mereka harus menyetorkan sejumlah dana ke sekolah, bukan lagi dengan bunyi sebagai uang gedung, akan tetapi dengan nama lainnya, yang sebenarnya hanya untuk mengelabui masyarakat, sehingga orang miskin banyak yang menjadi korban diskriminikasi pendidikan dinegrinya sendiri. Padahal pendidikan adalah hak semua lapisan tak terkecuali orang miskin yang menjadi mayoritas Negara ini. Itulah yang harus menjadi “PR” bagi pemerintah untuk lebih menekankan kembali masalah pendidikan agar dapat terealisasikan dengan baik, sehingga tidak terjadi “yang kaya semakin pintar sedangkan yang miskin tetep bodoh”. 
Pengembangan sumber daya manusia adalah proses peningkatan pengetahuan, keahlian (skill) dan kemampuan manusia hidup bermasyarakat. Dari sudut pandang seorang ahli ekonomi, efektivitas dari investasi sumber daya manusia adalah adanya hasil pertumbuhan ekonomi. Oleh ahli politik, pengembangan sumber daya manusia untuk menjadikan manusia ahli di bidang politik. Dengan demikian konsep pengembangan sumber daya manusia tergantung dari mana kita melihatnya, dimana semuannya itu terkait dengan pendidikan.[4] Pendekatan dari sudut ekonomi menunjukan betapa pentingnya faktor manusia dalam pengembangan ekonomi. Kehidupan ekonomi menjadi sangat penting dalam berkehidupan bernegara. Karena itu negara wajib mengembangkan kemampuan sumber daya manusianya sebagai aset untuk perkembangan ekonominya. Pendekatan ekonomi dan tenaga kerja menjadi sangat penting dalam pandangan tersebut.[5]
Namun pada kenyataannya, sistem pendidikan Indonesia belum menunjukkan keberhasilan yang diharapkan. Pendidikan di Indonesia masih belum berhasil menciptakan sumber daya manusia (SDM) yang handal apalagi sampai taraf meningkatkan kualitas bangsa. Krisis multidimensi yang dialami bangsa ini diyakini banyak kalangan akibat gagalnya sistem pendidikan yang digunakan, juga merosotnya indeks pembangunan manusia (IPM) atau Human Deveopment Index (HDI) Indonesia tidak terlepas dari rendahnya kualitas pendidikan di negeri kita ini.
Dalam suatu studi internasional menunjukan bahwa Indonesia termasuk negara yang paling parah tingkat korupsinya. Hal ini merupakan salah satu kegagalan pendidikan nasional serta tidak adanya transparansi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan kehidupan ekonomi dan politik. Masalah-masalah ini menunjukan pula kepada kita bahwa transformasi yang kita inginkan haruslah melingkupi seluruh aspek kehidupan masyarakat yaitu transformasi politik, ekonomi, hukum dan pendidikan. Tidak mungkin terjadi transformasi politik tanpa transformasi pendidikan dan seterusnya tidak mungkin terjadi ransformasi pendidikan tanpa transformasi politik dan ekonomi.[6]
Setiap sistem pendidikan yang sehat selalu berusaha memahami zamannya dan berusaha pula memenuhi tuntutan-tuntutannya. Setiap sistem pendidikan yang baik selalu berusaha mempersiapkan masyarakat yang dilayaninya mengembangkan wawasan-wawasan baru untuk mengakomodasi perubahan-perubahan yang tampak akan datang. Interaksi antar sekolah dengan masyrakat seperti ini akan melahirkan watak yang dinamis pada sistem pendidikan. Dinamika ini tercermin pada perubahan-perubahan yang terjadi dan dilakukan oleh sekolah-sekolah yang terdapat dalam sistem pendidikan tadi.
Transformasi pendidikan merupakan perubahan wajah dan watak yang terjadi pada sistem pendidikan sebagai akibat dari interaksi tersebut. Sistem pendidikan kitapun telah mengalami transformasi. Sekolah-sekolah di Indonesia mengalami perubahan wajah dan watak dari zaman ke zaman. Wajah dan watak yang diperlihatkan oleh sistem pendidikan kita pada zaman kolonial dahulu berbeda dengan zaman-zaman setelahnya. Namun kita tidak akan sadar jika kita tidak melihat kebelakang perubahan yang sudah terjadi. [7]

C.    Pendidikan di Indonesia
Bidang pendidikan memang menjadi tumpuan harapan bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia. Meskipun demikian pendidikan kita masih banyak melahirkan paham berbeda dengan tuntutan dunia kerja dan integritas suatu bangsa. Anak didik kita ketika keluar atau menyelesaikan program pendidikan, seolah berada di ruang yang tidak tersentuh oleh realitas kehidupan yang mereka pelajari di sekolah-sekolah, mereka merasa asing dengan lingkungan sekitar mereka.
Pelajaran yang mereka pelajari sewaktu masih di bangku sekolah seolah asing dan tidak sejalan dengan alur kehidupan realitas keseharian mereka, mereka terasing dengan kehidupan realitas yang sangat kontras dengan pelajaran yang tidak pernah mereka pelajari di sekolah-sekolah. Dengan rasa keterasingan ini, akhirnya mereka mencoba mencari sesuatu akifitas yang dapat membantu mereka keluar dari rasa itu dan akhirnya pergaulan bebas, penyalahgunaan obat-obatan terlarang menghiasi aktifitas keseharian mereka.
Salah satu faktor rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia adalah karena lemahnya para guru dalam menggali potensi anak. Para pendidik seringkali memaksakan kehendaknya tanpa pernah memperhatikan kebutuhan, minat dan bakat yang dimiliki siswanya. Kelemahan para pendidik kita, mereka tidak pernah menggali masalah dan potensi para siswa. Pendidikan seharusnya memperhatikan kebutuhan anak bukan malah memaksakan sesuatu yang membuat anak kurang nyaman dalam menuntut ilmu. Proses pendidikan yang baik adalah dengan memberikan kesempatan pada anak untuk kreatif. Itu harus dilakukan sebab pada dasarnya gaya berfikir anak tidak bisa diarahkan.
Perbaikan kesejahteraan guru bukan satu-satunya variable yang dapat memperbaiki kinerja guru tetapi masalah pendidikan saat ini yakni masalah kualitas itu sendiri, baik kualitas keilmuannya atau kualitas hidupnya. Namun tidak dapat dipastikan dengan perbaikan kesejahteraan guru akan memperbaiki kualitas keilmuan guru. Tapi dengan kesejahteraan yang memadai maka guru lebih konsentrasi pada tugas-tugasnya dan berkesempatan untuk mendapatkan akses ke sumber-sumber informasi penunjang yang diperlukan.[8]
Selain itu kurikulum yang sentralistik membuat potret pendidikan kita semakin buram. Kurikulum hanya didasarkan pada pengetahuan pemerintah tanpa memperhatikan kebutuhan masyarakat. Selain itu pendidikan tidak mampu menghasilkan lulusan yang kreatif. kurikulum dibuat di Jakarta dan tidak memperhatikan kondisi di masyarakat bawah atau daerah. Jadi, para lulusan hanya pintar cari kerja dan tidak pernah bisa menciptakan lapangan kerja sendiri, padahal lapangan pekerjaan yang tersedia terbatas.
Pendidikan pada masa Orde Baru (Orba)
Pada era orde baru, pendidikan di semua jenjang lebih mementingkan aspek kognitif (intelegensi quotient). Sedangkan aspek afektif (emosional quotien atau sistem nilai), sangat ditelantarkan. Dalam skala mikro, proses pembelajaran di hampir semua jenjang pendidikan hanya memusatkan perhatiannya pada kemampuan otak kiri peserta didik. Sebaliknya, kemampuan otak kanan kurang di tumbuh kembangkan dan bahkan dapat juga dikatakan tidak pernah dikembangkan secara sistematis.
Dengan kondisi itu, menyebabkan pendidikan nasional kita tidak mampu menghasilkan orang-orang mandiri, kreatif, memiliki integritas dan orang-orang yang mampu berkomunikasi secara baik dengan lingkungan fisik dan sosial serta komunitas kehidupan mereka (peserta didik). Akibatnya, dilihat dari tingkat pendidikan tinggi, pengangguran sarjana yang secara formal termasuk kelompok terpelajar atau terdidik semakin banyak dan meluas.
Dalam bidang pembangunan pendidikan, khususnya pendidikan dasar, terjadi suatu loncatan yang sangat signifikan dengan adanya Instruksi Presiden (Inpres) Pendidikan Dasar. Namun, yang disayangkan adalah pengaplikasian inpres ini hanya berlangsung dari segi kuantitas tanpa diimbangi dengan perkembangan kualitas. Yang terpenting pada masa ini adalah menciptakan lulusan terdidik sebanyak-banyaknya tanpa memperhatikan kualitas pengajaran dan hasil didikan.
Pelaksanaan pendidikan pada masa orde baru ternyata banyak menemukan kendala, karena pendidikan orde baru mengusung ideologi “keseragaman” sehingga kesulitan untuk maju dalam bidang pendidikan. EBTANAS, UMPTN, menjadi seleksi penyeragaman intelektualitas peserta didik. EBTANAS atau evaluasi belajar tahap akhir nasional banyak diprotes oleh masyarakat karena dengan system EBTANAS maka siswa hanya dilatih untuk mengejar angka NEM atau Nilai EBTANAS Murni. Sehingga pelajaran yang tidak di ujiankan diabaikan sama sekali oleh para siswa dan guru.[9] Sebenarnya masalah tersebut tidak hanya terjadi pada masa orde baru saja namun masa sekarang juga masih terjadi dan menjadi kritikan bagi pemerintah.
Selain itu, masa ini juga diwarnai dengan ideologi militeralistik dalam pendidikan yang bertujuan untuk melanggengkan status quo penguasa. Pendidikan militeralistik diperkuat dengan kebijakan pemerintah dalam penyiapan calon-calon tenaga guru negeri. Siswa sebagai peserta didik, dididik untuk menjadi manusia “pekerja” yang  kelak akan berperan sebagai alat penguasa dalam menentukan arah kebijakan negara. Pendidikan bukan ditujukan untuk mempertahankan eksistensi manusia, namun untuk mengeksploitasi intelektualitas mereka demi hasrat kepentingan penguasa.
Pendidikan di Era Sekarang
Pendidikan Indonesia saat ini merupakan hasil dari kebijakan politik pemerintah Indonesia selama ini. Mulai dari pemerintahan Soekarno (orde lama), Soeharto (orde baru), Habibie (orde reformasi) KH. Abdurrahman Wahid (orde transisi) Megawati (orde transformasi) dan yang sekarang, SBY (orde reorientasi dan rekonsiliasi). Di lihat dari realitas praktisnya, pendidikan kita masih mementingkan pendidikan yang bersifat dan berideologi materialisme-kafitalis.
Materialisasi atau proses menjadikan semua yang bernilai materi telah masuk di segala sendi sistem pendidikan Indonesia. Sendi-sendi yang di masuki bukan hanya materi pelajaran, pendidik, peserta didik, manajemen, dan lingkungan, tetapi tujuan pendidikan itu sendiri. Jika tujuan pendidikan telah mengarah kepada hal-hal yang bersifat materi, maka apa yang dapat diharapkan dari proses pendidikan tersebut.
Materi pelajaran kita (kurikulum) dibuat sedemikian rupa dan di arahkan agar peserta didik dapat atau mampu mendapatkan pekerjaan yang dapat menghasilkan pendapatan yang besar. Kurikulum tersebut dibuat dan direncanakan dengan sistematika yang sedemikian rupa dan untuk mengikutinya dibutuhkan biaya yang sangat besar. Jika dalam proses memperolehnya saja peserta didik harus mengeluarkan uang dalam jumlah besar, maka dapat dibayangkan; setelah mereka memperoleh pengetahuan tersebut mereka juga akan berupaya bagaimana dana dalam jumlah yang besar tadi dapat kembali dan tentunya juga berupaya untuk mendapatkan untung sebesar-besarnya. Pendidikan nasional kita menghadapi masalah diantaranya pendidikan kita telah terjebak pada pola kapitalistik dalam arti transaksi dengan siswa semakin mahal. Pendidikan hanya untuk kaum yang punya dan yang menengah kebawah seperti tersisihkan.[10]
Di era reformasi telah memberikan ruang yang cukup besar bagi perumusan kebijakan-kebijakan pendidikan baru yang bersifat reformatif dan revolusioner. Bentuk kurikulum menjadi berbasis kompetensi. Begitu pula bentuk pelaksanaan pendidikan berubah dari sentralistik (orde lama) menjadi desentralistik. Pada masa ini pemerintah menjalankan amanat UUD 1945 dengan memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan belanja negara.
Pendidikan di era reformasi 1999 mengubah wajah sistem pendidikan Indonesia, dengan ini pendidikan menjadi sektor pembangunan yang didesentralisasikan. Pemerintah memperkenalkan model “Manajemen Berbasis Sekolah”. Sementara untuk mengimbangi kebutuhan akan sumber daya manusia yang berkualitas, maka dibuat sistem “Kurikulum Berbasis Kompetensi”. Reformasi pendidikan apabila desentralisasi pendidikan meminta sumber daya manusia yang banyak dalam bidang kurikulum. Kurikulum yang terdesentralisasi meminta banyak pakar sebagai ahli kurikulum untuk penyusunannya, berbeda dengan kurikulum yang tersentralisasi yang cukup dikerjakan oleh beberapa ahli saja di belakang meja namun tidak dapat berfungsi apabila dalam masyarakat yang pluralistis.[11]
Namun pendidikan di masa reformasi juga belum sepenuhnya dikatakan berhasil. Karena, pemerintah belum memberikan kebebasan sepenuhnya untuk mendesain pendidikan sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan lokal, misalnya penentuan kelulusan siswa masih diatur dan ditentukan oleh pemerintah. Walaupun telah ada aturan yang mengatur posisi siswa sebagai subjek yang setara dengan guru, namun dalam pengaplikasiannya, guru masih menjadi pihak yang dominan dan mendominasi siswanya, sehingga dapat dikatakan bahwa pelaksanaan proses pendidikan Indonesia masih jauh dari dikatakan untuk memperjuangkan hak-hak siswa.
Permasalahan pendidikan di Indonesia
Nandika Sekretaris Jenderal Depdiknas, mengemukakan bahwa masalah dan tantangan yang dihadapi di bidang pendidikan di Indonesia antara lain :
1.      Tingkat pendidikan masyarakat relatif rendah.
2.      Dinamika perubahan struktur penduduk belum sepenuhnya terakomodasi dalam pembangunan pendidikan.
3.      Kesenjangan tingkat pendidikan.
4.      Good governance, kepemimpinan yang belum berjalan secara optimal.
5.      Fasilitas pelayanan pendidikan yang belum memadai dan merata.
6.      Kualitas pendidikan relatif rendah dan belum mampu memenuhi kompetensi peserta didik.
7.      Pendidikan tinggi masih menghadapi kendala dalam mengembangkan dan menciptakan IPTEK.
8.      Manajemen pendidikan belum berjalan secara efektif dan efisien.
9.      Anggaran pembangunan pendidikan belum tersedia secara memadai.
Permasalah tersebut merupakan permasalahan yang banyak dihadapi oleh negara berkembang termasuk Indonesia. Peranan pendidikan bila dikaji secara ekonomi, maka akan memberikan kontribusi terhadap peranan pemerintah dan masyarakat terhadap dampak yang akan dialami negara Indonesia dalam jangka panjang kedepan dengan kebijakan pembangunan pendidikan sebagai dasar pembangunan negara.
Pelaksanaan kebijakan otonomi dan desentralisasi dalam manajemen pembangunan pendidikan masih dirasakan belum optimal. Walaupun kewenangan setiap tingkatan pemerintah telah diatur melalui PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Kewenangan Penidikan antar Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten atauKota, namun pada tatanan pelaksanaannya masih kurang memberikan makna imperatif bagi masyarakat. Ada kecenderungan bahwa setiap kebijakan dalam aspek pembaruan pendidikan semakin sulit diapresiasi dan dilaksanakan karena tidak jelas referensinya.[12]
Dalam peningkatan peran pendidikan perlu ditekankan pada upaya perluasan dan pemerataan pendidikan, mutu dan relevansi pendidikan serta governance dan akuntabilitas. Ketiga program tersebut merupakan upaya untuk pembangunan pendidikan secara merata untuk seluruh wilaya Indonesia, sehingga ketertinggalan dibidang peningkatan mutu SDM dapat ditingkatkan sehingga tidak tertinggal dengan kemajuan di antara negara-negara Asia Pasifik.[13] Dengan jelas dirumuskan bahwa misi pendidikan ialah menciptakan suatu sistem dan iklim pendidikan nasional yang demokratis dan bermutu dalam rangka mengembangkan kualitas sumber daya manusianya serat sebagai sarana mengembangkan kualitas bangsa Indonesia.

D.    Kesimpilan

a.       Pendidikan sebagai kunci kualitas bangsa
Pendidikan merupakan sarana strategis untuk meningkatkan kualitas suatu bangsa, karenannya kemajuan suatu bangsa dapat diukur dari kemajuan pendidikannya. Kemajuan beberapa negara di dunia ini tidak terlepas dari kemajuan yang di mulai dari pendidikannya. Karena itu pendidikan harus mampu melahirkan lulusan-lulusan bermutu yang memiliki pengetahua, menguasai teknologi dan mempunyai kemampuan tekhis yang memadai. Pendidikan juga harus menghasilkan tenaga-tenaga profesional yang memiliki kapasitas dan kapabilitas kemampuan berwirausaha yang menjadi salah satu pilar utama aktivitas perekonomian nasional.
Sistem pendidikan di Indonesia belum sepenuhnya menunjukkan keberhasilan yang diharapkan. Pendidikan di Indonesia masih belum berhasil menciptakan sumber daya manusia (SDM) yang handal apalagi sampai taraf meningkatkan kualitas bangsa ini. Masalah-masalah ini menunjukan pula kepada kita bahwa perubahan yang kita inginkan haruslah melingkupi seluruh aspek kehidupan masyarakat yaitu perubahan politik, ekonomi, hukum dan pendidikan.
b.      Pendidikan di Indonesia
Salah satu faktor rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia adalah karena kurikulum yang sentralistik membuat potret pendidikan semakin buram. Kurikulum hanya didasarkan pada pengetahuan pemerintah tanpa memperhatikan kebutuhan masyarakat. kurikulum dibuat di Jakarta dan tidak memperhatikan kondisi di masyarakat bawah atau daerah, yang tentu saja suasanannya berbeda jauh dengan ibu kota.
Selain itu juga karena lemahnya para pendidik kita, mereka tidak pernah menggali masalah dan potensi para siswa. Pendidikan seharusnya memperhatikan kebutuhan anak bukan malah memaksakan sesuatu yang membuat anak kurang nyaman dalam menuntut ilmu. Proses pendidikan yang baik adalah dengan memberikan kesempatan pada anak untuk kreatif.
Pelaksanaan pendidikan pada masa orde baru ternyata banyak menemukan kendala, karena pendidikan orde baru mengusung ideologi “keseragaman” sehingga kesulitan untuk maju dalam bidang pendidikan. Selain itu pendidikan di semua jenjang lebih mementingkan aspek kognitif (intelegensi quotient). Sedangkan aspek afektif (emosional quotien atau sistem nilai) seperti diabaikan. Dalam bidang pembangunan pendidikan, khususnya pendidikan dasar, terjadi suatu loncatan yang sangat signifikan dengan adanya Instruksi Presiden (Inpres) Pendidikan Dasar.
Di era reformasi telah memberikan ruang yang cukup besar bagi perumusan kebijakan-kebijakan pendidikan baru yang bersifat reformatif dan revolusioner. Bentuk kurikulum menjadi berbasis kompetensi. Namun pendidikan di masa reformasi juga belum sepenuhnya dikatakan berhasil. Karena, pemerintah belum memberikan kebebasan sepenuhnya untuk mendesain pendidikan sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan lokal.


Daftar Pustaka

Buchori, Mochtar, Pendidikan Antisipatoris, Yogyakarta : Kanisius, 2001
Elmubarok, Zaim, Membumikan Pendidikan Nilai, Bandung : Alfabeta, 2008.
Irianto, Agus, Pendidikan Sebagai Investasi dalam Pembangunan Suatu Bangsa, Jakarta : Kencana, 2011.
Tilaar. H.A.R. Kekuasaan dan Pendidikan, Magelang : Indonesia Tera, 2003.
Tilaar. H.A.R. Membenahi Pendidikan Nasional, Jakarta : Rineka Cipta, 2002.
Suyanto dan abbas, Wajah dan Dinamika Pendidikan Anak Bangsa, Yogyakarta : Adi Cita Karya Nusa, 2001.
Yoyon Bachtiar Irianto, Kebijakan Pembaruan Pendidikan: Konsep, teori dan Model, Jakarta :Rajawali Pers, 2011.



[1] Irianto, Agus, Pendidikan Sebagai Investasi dalam Pembangunan Suatu Bangsa, (Jakarta : Kencana, 2011) hlm. 1.
[2] Elmubarok, Zaim, Membumikan Pendidikan Nilai, (Bandung : Alfabeta, 2008) hlm. 3.
[3] Yoyon Bachtiar Irianto, Kebijakan Pembaruan Pendidikan: Konsep, teori dan Model, (Jakarta : Rajawali Pers, 2011) hlm. 6.
[4] Irianto, Agus, Pendidikan Sebagai Investasi dalam Pembangunan Suatu Bangsa, (Jakarta : Kencana, 2011) hlm. 22.
[5] Tilaar. H.A.R. Kekuasaan dan Pendidikan, (Magelang : Indonesia Tera, 2003) hlm. 146.
[6] Tilaar. H.A.R. Membenahi Pendidikan Nasional, (Jakarta : Rineka Cipta, 2002) hlm. 5.
[7] Buchori, Mochtar, Pendidikan Antisipatoris, (Yogyakarta : Kanisius, 2001) hlm. 25.
[8] Suyanto dan abbas, Wajah dan Dinamika Pendidikan Anak Bangsa, (Yogyakarta :   Adi Cita Karya Nusa, 2001) hlm. 147.
[9] Buchori, Mochtar, Pendidikan Antisipatoris, (Yogyakarta : Kanisius, 2001) hlm. 58.
[10] Istiningsih, Pengembangan Pendidikan Nasional, Menyongsong Masa Depan, (Yogyakarta : Grafika Indah, 2006) hlm : 1.
[11] . H.A.R. Kekuasaan dan Pendidikan, (Magelang : Indonesia Tera, 2003) hlm. 241.
[12] Yoyon Bachtiar Irianto, Kebijakan Pembaruan Pendidikan: Konsep, teori dan Model, (Jakarta : Rajawali Pers, 2011) hlm. 1.
[13] Irianto, Agus, Pendidikan Sebagai Investasi dalam Pembangunan Suatu Bangsa, (Jakarta : Kencana, 2011) hlm. 12.



SEKIAN SEDIKIT ARTIKEL YANG BERASAL DARI MAKALAH SAYA