Senin, 21 Oktober 2013

Penjelasan mengenai Qiro’ah dan pengaruhnya terhadap Istinbath hukum


 Penjelasan mengenai Qiro’ah dan pengaruhnya terhadap Istinbath hukum

A.  Pengertian Qira’ah
Qira’ah secara bahasa berarti bacaan, secara terminologi, qiro’ah  sebagaimana dikemukakan oleh al Zarkasyi adalah perbedaan lafazh-lafazh Al Quran baik menyangkut huruf-hurufnya maupun cara pengucapan huruf tersebut, seperti tahfif, tasydid dan lain sebagainya. Pengertian qiro’ah ini hanya terbatas pada lafazh-lafazh Al Quran yang memiliki perbedaan qiro’at. Padahal menurut pendapat lain lafazh Al Quran yang tidak memiliki perbedaan pendapatpun dimasukan dalam qiro’at.
Pendapat lain dikemukakan al Dimyati bahwa qiro’at adalah suatu ilmu untuk mengetahui cara pengucapan lafazh-lafazh Al Quran baik yang disepakati maupun yang tidak disepakati (ikhtilaf) oleh para ahli qiro’ah, seperti hadzf (membuang huruf), itsbat (menetapkan huruf), tahrik (memberi harakat), taskin (memberi sukun), fashl (memisahkan huruf), washl (menyambungkan huruf), ibdal (menggantikan huruf) dan lain sebagainya, yang diperoleh melalui periwayatan.
Berdasarkan rumusan-rumusan diatas maka qiro’ah mempunyai dua sumber yakni al sima’ dan al naql. Al sima’ artinya  bahwa qiro’ah itu diperoleh secara langsung dengan cara mendengar dari Nabi saw. Al naql artinya qiro’ah itu diperoleh melalui riwayat yang menyatakan bahwa qiraat Al Quran itu dibacakan di hadapan Nabi saw. Lalu beliau membenarkan.[1]

Ibn Al Jazari membuat definisi berikut :

اَلْقِرَاءَتُ : عِلْمٌ بِكَيْفِيَّا تِ اَ دَاءِكَلِمَا تِ الْقُرْآنِ وَاخْتِلاَ فِهَابِعَزْوِالنَّاقِلَةِ
Artinya :
“ Qiro’at adalah pengetahuan tentang cara-cara melafalkan kalimat-kalimat Al Quran dan perbeaannya dengan membangsakan kepada penukilnya”.
            Menurut Ibn Al Jazari, Al Muqri adalah seorang yang mengetahui qiro’ah-qiro’ah dan meriwayatkannya kepada orang lain secara lisan. Jika dia hafal kitab Al Taisir (kitab qiro’ah) misalnya, ia belum dapat meriwayatkan (yuqri’i) isinya selama orang yang menerimanya dari gurunya secara lisan tidak menyampaikan kepadanya secara lisan pula dengan periwayatan yang bersambung-sambung (musalsah). Sebab dalam masalah qiro’at banyak hal yang tidak dapat ditetapkan kecuali melalui pendengaran dan penyampaian secara lisan.
Imam Az Zarkasyi dalam buku Al Burhan Fii Ulumil Qur’an mengingatkan, bahwa al qiro’ah (bacaan) itu berbeda dengan Al Quran (yang dibaca). Keduanya merupakan dua fakta yang berlainan. Sebab Al Quran adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad untuk menjadi keterangan dan mukjizat. Sedang qiro’ah ialah perbedan cara membaca lafal-lafal wahyu tersebut di dalam tulisan huruf-hurufnya yang menuju jumhur cara itu menuju mutawatir.[2]
Perlu diketahui bahwa Al Quran yang tercetak belum tentu dapat dijadikan pegangan dalam masalah qiro’ah. Banyak mushaf yang dicetak di belahan dunia Islam bagian timur berbeda dengan yang dicetak di Afrika utara misalnya karena qiro’ah yang  umum diikuti kedua wilayah itu berbeda. Bahkan mushaf-mushaf yang ditulis atas perintah Khalifah Usman tidak bertitik dan tidak berbaris. Karena itu mushaf-mushaf ini dapat dibaca dengan berbagai qiro’ah.
Rasulullah bersabda :

 اِنَّ هَدَاالْقَرْاَنَ اُنْزِلَ عَلَ سَبْعَةِ اَحْرُ فٍ فَا قْرَ ءُوْامَا تَيَسَّرَ مِنْه
( رواه البخا رى ومسلم )
Artinya :
“ sesungguhnya, Al Quran ini diturunkan atas tujuh huruf (cara bacaan), maka bacalah (menurut) makna yang engkau anggap mudah”.
(H.R. Bukhari dan Muslim)
            Para sahabat tidak semuannya mengetahui semua cara membaca Al Quran. Sebagian mengambil satu cara bacaannya dari Rasul, sebagian mengambil dua dan sebagiannya mengambil lebih, sesuai dengan kemampuan dan kesempatannya masing-masing.
            Meluasnya wilayah Islam dan menyebarnya para sahabat dan tabi’in yang mengajarkan Al Quran di berbagai kota menyebabkan timbulnya berbagai macam qiro’ah. Perbedaan antara satu qiro’ah dan lainnya bertambah besar sehingga sebagian riwayatnya sudah tidak dapat lagi dipertanggungjawabkan. Para ulama menulis qiro’ah-qiro’ah ini dan sebagiannya menjadi masyhur sehingga lahirlah istilah qiro’ah tujuh.
 
A.    Sejarah ilmu qiro’atil quran
Pada masa hidup Nabi Muhammad perhatian umat terhadap kitab Al Quran ialah memperoleh ayat-ayat Al Quran itu, dengan mendengarkan, membaca dan menghafalkannya secara lisan dari mulut kemulut dari Nabi sampai kepada para imam lainnya. Pada periode pertama Al Quran belum dibukukan. Hal ini berlangsung sampai pada masa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar. Pada masa mereka kitab Al Quran sudah dibukukan dalam satu mushaf. Pembukuan Al Quran tersebut merupakan ikhtiar khalifah Abu Bakar atas inisiatif Umar bin Khatab. Pada masa khalifah Utsman bin Affan, mushaf tersebut disalin dan dikirim kedaerah-daerah Islam.
Hal tersebut dilakukan khalifah Utsman karena terjadi perselisihan sesama kaum muslimin di daerah Azerbeijan mengenai bacaan Al Quran. Mereka berlainan dalam menerima bacaan ayat-ayat Al Quran karena oleh Nabi diajarkan cara bacaan yang relevan dengan dialek mereka masing-masing. Tetapi karena tidak memahami maksud tujuan Nabi, lalu setiap suku atau golongan menganggap hanya bacaan mereka sendiri yang benar sedang bacaan yang lain salah.
Inilah pangkal perbedaan qiro’ah dan sejarah tumbuhnya Ilmu Qiro’ah. Untuk meredakan perselisihan-perselisihan tersebut, khalifah Utsman mengadakan penyalinan mushaf Al Quran dan mengirimkannya ke berbagai daerah. Dengan mushaf dari khalifah tersebut digunakan sebagai acuan dalam membaca Al Quran. Setelah itu muncul para qurra’ yang ahli dalam berbagai cara dalam membaca Al Quran. Mereka menjadi panutan di daerahnya masing-masing dan menjadi pedoman bacaan serta cara-cara membaca Al Quran.[1]
Mushaf Abu Bakar pasti mempunyai keistimewan begitu pula mushaf Utsmaniyah, tetapi perlu diingat bahwa yang dilakukan Utsman adalah penyalinan yang dikumpulkan pada masa Abu Bakar. Jadi apa yang menjadi kelebihan mushaf Abu Bakar merupakan kelebihan yang dimiliki oleh mushaf Utsmani. Namun ada beberapa keistimewaan lain yang ada pada mushaf Utsmaniyah yang tidak terdapat pada mushaf Abu Bakar.
1.      Mushaf Abu Bakar hanya berjumlah satu sedang mushaf Utsmani berjumlah enam, menurut pendapat  kebanyakan ulama.
2.      Dengan jumlah mushaf Utsmani yang banyak maka lebih memungkinkan untuk mecakup keseluruhan ahruf sab’ah.
3.      Pada mushaf Abu Bakar ayat-ayat dalam suratnya sudah tersusun namun susunan suratnya belum seperti sekarang, sebab pada waktu itu masing-masing surat tertulis dalam satu tempat kemudian tempat dari surat-surat itu dikumpulkan tanpa mengurutkan sesuai letaknya yang semestinya. Pada masa Utsman letak surat-surat itu diurutkan persis seperti pada mushaf yang sekarang.
4.       Mushaf Utsmani dijadikan sebagai mushaf panutan dalam membaca Al Quran demi keutuhan dan persatuan kaum muslimin. Sedang mushaf Abu Bakar hanya disimpan dan dijadikan rujukan jika diperlukan.[2]
B.     Macam-macam Qiro’atil Quran
1.    Ditinjau dari segi banyaknya para qurra’ yang mengajarkannya ada 3 macam :
a.       Qiro’ah sab’ah atau di kenal dengan Qiro’ah tujuh, adalah qiro’ah yang disandarkan kepada tujuh imam qiro’ah yang masyhur dan disebutkan secara khusus oleh Abu Bakar bin Mujahid karena menurutnya mereka adalah ulama yang terkenal hafalan, ketelitian dan cukup lama menekuni dunia qiro’ah serta setelah disepakati untuk diambil dan dikembangkan qiro’ahnya, mereka yakni :
1.      Nafi’ Al Madani
2.      Ibnu Katsir Al Makki
3.      Abu Amr bin Al Ala’
4.      Ibnu Amir Al Aimisyqi
5.      Ashim bin Abi Al Nujud Al Kufi
6.      Hamzah bin Habib Al Zayyat
7.      Al Kisai [3]
b.      Qiro’ah ‘asyrah. Imam atau guru qiro’ah itu cukup banyak jumlahnya namun yang populer hanya tujuh orang. Akan tetapi para ulama memilih juga tiga orang imam qiro’ah yang qiro’ahnya dipandang sahih dan mutawatir. Mereka adalah
1.      Abu Ja’far Yazin bin Qo’qo al Madani,
2.      Ya’qub bin Ishaq al Hadrami dan
3.      Khalaf bin Hisyam.
Jadi, qiro’ah asyrah yaitu qiro’ah yang disandarkan kepada sepuluh orang ahli qiro’ah, yakni tujuh orang dalam qiro’ah sab’ah di tambah tiga orang dari qiro’ah ‘asyrah.[4]  Qiro’ah diluar yang kesepuluh orang tersebut dipandang qiro’ah syaz, seperti qiro’ah Yazidi, Hasan, A’masy, Ibn Jabir dan lain sebagainya. Meskipun demikian bukan berarti tidak satupun dari qiro’ah sepuluh tersebut dan bahkan tujuh yang masyhur itu terlepas dari kesyazan, sebab di dalam qiro’ah-qiro’ah tersebut masih terdapat juga beberapa kesyazan sekalipun hanya sedikit.[5]
c.       Qiro’ah arba’a ‘asyrata, qiro’ah yang disandarkan kepada 14 orang ahli qiro’ah. Ke 14 orang tersebut ialah 10 orang ahli qiro’ah ‘asyrah di tambah 4 orang, yakni :
1.      Hasan Al Bashry
2.      Ibnu Muhaish
3.      Yahya Ibnu Mubarak Al Yazidy
4.      Abul Faraj Ibnul Ahmad Asy Syambudzy
Banyak yang berpendapat bahwasanya Al Ahrufus Sab’ah (huruf yang tujuh) yang diturunkan ke dalam Al Quran, tidak dimaksudkan dengan qiro’at sab’ah (bacaan yang tujuh) yang masyhur itu. Hal ini ditegaskan karena banyak ulama yang menyangka bahwa qiro’ah sab’ah ini, itulah yang dimaksudkan dengan huruf yang tujuh. Abu Syamah di dalam kitab Al Musyidul Wajiz berkata : “ segolongan orang menyangka bahwasanya qiro’ah sab’ah yang berkembang sekarang, itulah yang dikehendaki di dalam hadis. Persangkaan yang demikian berlawanan dengan ijma’ semua ahli”
Timbulnya sangkaan yang demikian karena tindakan Abu Bakar Ahmad ibn Musa ibn Abbas yang terkenal dengan nama Ibnu Mujahid yang telah berusaha pada penghujung abad ke 3 H di Baghdad, untuk mengumpulkan tujuh qiro’ah dari 7 imam yang terkenal di Mekkah, Madinah, Kufah, Basrah dan Syam. Usaha mengumpulkan qiro’ah-qiro’ah yang tujuh itu adalah secara kebetulan saja karena masih ada imam-imam qiro’ah yang lebih tinggi derajatnya dari ketiga orang itu dan banyak pula jumlahnya. Abu Abbas ibn Amma, seorang muqri besar, mencela keras Ibnu Mujahid dan mengatakan usaha itu akan menimbulkan persangkaan bahwa qiro’ah sab’ah inilah yang dimaksudkan oleh hadis. Alangkah baiknya kalau yang dikumpulkan itu kurang dari tujuh atau lebih dari tujuh agar hilang kesamaran tersebut.[6]
2.    Ditinjau dari segi nama jenis
Menurut sebagian ulama, jika ditinjau dari segi nama jenis, macam-macam qiro’ah itu ada empat, yakni :
a.       Qiro’ah yakni untuk nama bacaan yang telah memenuhi tiga syarat sebagaimana penjelasan diatas seperti qiro’ah sab’ah, asyrah dan arba’a asyrata.
b.      Riwayah yakni nama bacaan yang hanya berasal dari salah seorang perawi sendiri.
c.       Thariq yakni nama untuk bacaan yang sanadnya terdiri dari orang-orang yang sesudah para perawinya sendiri.
d.      Wajah yakni nama untuk bacaan terhadap Al Quran yang tidak didasarkan sifat-sifat tersebut diatas, melainkan berdasarkan pilihan pembacanya sendiri.
3.    Ditinjau dari para perawi
Imam As Suyuthi alam buku Al Otqam menukilkan dari Ibnu Jauzy dalam buku Munjidul Muqri’in menjelaskan bahwa macam-macam qiro’ah jika ditinjau dari segi perawi-perawinya ada enam macam, yakni :
a.    Qiro’ah mutawatir, yakni qiro’ah yang diriwayatkan oleh orang banyak dari orang banyak, mereka tidak mungkin bersepakat dusta. Misalnya qiro’ah sab’ah, menurut jumhur, qiro’ah sab’ah ini semua riwayatnya adalah mutawatir.
b.    Qiro’ah masyhurah, yakni qiro’ah yang sahih sanadnya seperti diriwayatkan oleh orang-orang adil, dhabit dan seterusnya. Serta selaras dengan kaidah bahasa arab dan bacaannya cocok dengan salah satu mushaf Utsmani baik dari qiro’ah sab’ah aaupun qiro’ah asyrah.
c.    Qiro’ah ahad, yakni qiro’ah yang sanadnya sahih tetapi tulisannya tidak cocok dengan mushaf Utsmani dan tidak selaras dengan kaidah bahasa arab. Qiro’ah seperti ini tidak boleh untuk membaca Al Quran dan tidak boleh diyakini dari Al Quran.
d.   Qiro’ah maudu’ah yaitu bacaan yang dibuat-buat yang tidak ada asarnya sama sekali, seperti bacaan :
انَّمَا يَخْشَى ا لله مِنْ عِبَا دِهِ الْعُلَمَا ءِ
e.    Qiro’ah mudraj yakni qiro’ah yang bacaannya ditambah-tambah sebagai penjelasn seperti bacaan Sa’id bin Abi Waqqash    وَلَهُ اَوْاّخْتٌ مِنْ اُمٌ  ditambah   مِنْ اُمٌ 
f.    Qiro’ah syadzdzah yakni qiro’ah yang sanadnya tidak sahih.[7] 
A.    Pengaruh Qiro’ah Terhadap Istinbath Hukum
            Sebelum masuk kepada pengaruh perbedaan qira’ah terhadap istinbath hukum, kata istinbath ( إستنباط ) adalah Bahasa Arab yang akar katanya al-nabth ( النبط ) artinya air yang pertama kali keluar atau tampak pada saat seseorang menggali sumur. Adapun istinbath menurut bahasa berarti: “Mengeluarkan air dari mata air (dalam tanah)”, karena itu, secara umum kata istinbath dipergunakan dalam arti istikhraj ( استخراج ), mengeluarkan. Sedangkan menurut istilah, yang dimaksud istinbath yaitu: “Mengeluarkan kandungan hukum dari nash-nash yang ada (al-Qur’an dan al-Sunnah), dengan ketajaman nalar serta kemampuan yang optimal.” Esensi istinbat yaitu upaya melahirkan ketentuan-ketentuan hukum yang terdapat baik dalam al-Qur’an maupun al-Sunnah. Mengenai obyek atau sasarannya yaitu dalil-dalil syar’i baik berupa nash maupun bukan nash, namun hal ini masih berpedoman pada nash.
            Perbedaan antara satu qiro’ah dan qiro’ah lainnya bisa terjadi pada perbedaan huruf, bentuk kata, susunan kalimat, i’rab, penambahan dan pengurangan kata. Perbedaan ini sudah tentu akan membawa sedikit atau banyak, perbedaan kepada makna yang selanjutnya berpengaruh kepada hukum yang diistinbathnya.

 اَنَّ بِاخْتِلاَ فِ الْقِرَ اءَتِ يَظْهَرُالْاِ خْتِلاَ فُ فِ الْاَحَكَامِ وَ لِهَذَ ا بَنَى لْفُقَهَاءُ نَقْضَ وُضُوْءِ المَلْمُوْ سِ وَعَدَمَهُ عَلَى ا خْتِلاَ  فِ ا لْقِرَ اءَتِ فِى ( لَمَسْتُمْ ) وَ ( لاَ مَسْتُمْ ) وَ كَذَ لِكَ جَوَ ازُ وَ طَاءِالْحَا ئِظِ عِنْدُ الأِنْقِطَا عِ وَعَدَ مُهُ اِلَى الْغُسْلِ عَلَى اخْتِلاَ فِهِمْ فِى  (حَتَّى يَطْهُرْ نَ )
Artinya:
“ Bahwa dengan perbedaan qiro’ah timbulah perbedaan dalam hukum. Karena itu, para ulama fiqih membangun hukum batalnya wudu’ orang yang disentuh (lawan jenis) dan tidak batalnya atas perbedaan qiro’at pada : “kau sentuh” dan “kamu saling menyentuh”. Demikian juga hukum bolehnya mencampuri perempuan yang sedang haid ketika terputus haidnya dan tidak bolehnya hingga ia mandi (dibangun) atas dasar perbedaan mendalam dalam bacaan : “hingga mereka suci”.

Menurut qiro’ah Nafi’ dan Abu Amr dibaca .        حَتَّى يَطْهُرْ نَ               
Dan menurut qiro’ah Hamzah dan Al Kisai dibaca           حَتَّى يَطَّهَّرْ نَ                
Qiro’ah pertama dengan sukun ta dan dammah ha menunjukan larangan menggauli perempuan itu ketika haid. Ini berarti bahwa ia boleh dicampuri setelah terpuutsnya haid sekalipun belum mandi, inilah pendapat Abu Hanifah. Sedangkan qiro’ah kedua dengan tasydit (suara ganda) ta dan ha menunjukan adanya perbuatan manusia dalam usaha menjadikan dirinya bersih. Perbuatan ini adalah mandi sehingga   يَطَّهَّرْ نَ  ditafsirkan يَغْتَسِلْنَ    (mandi). Berdasarkan antara qiro’ah-qiro’ah Hamzah dan Al Kisai, jumhur ulama menfsirkan bacaan yang tidak bertasydid dengan makna bacaan  yang bertasydid
            Perbedaab antara qiro’ah   لاَ مَسْتُمُ النِّسَاءَ  dan juga mempengaruhi   لَمَسْتُمُ النِّسَاءَ  perbedaan dalam istinbath hukum. Menurut mazhab Hanafi dan maliki, semata-mata bersentuhan antara laki-laki dan perempuan tidak membatalkan wudu’. Sebab menurut Hanafi, kata    لَمَسْتُمْ  disini berarti ijma’ (berhubungan kelamin) dan menurut Maliki berarti bersentuhan yang disertai dengan nafsu. Sedangkan menurut mazhab Syafi’i, bersentuhan semata akan membatalkan wudu’.
Dari sudut qiro’ah perbedaan dalam ayat ini jelas menimbulkan perbedaan pengertian. Qiro’ah pertama mengandung unsur interaksi antara pihak yang menyentuh dan yang isentuh, baik inteaksinya sampai kepada ijma’ sebagaimana yang ipahami mazhab Hanafi maupun hanya sampai kepada batas perasaan syahwat sebagaimana yang dipahami dalam mazhab Maliki. Sebab kata   لاَ مَسَ   termasuk bentuk kata kerja musyarakah dalam ilmu sharaf. Sementara itu, qiro’ah   لَمَسَ   adalah bentuk kata kerja muta’addin (transiti) yang tidak menganung unsur musyarakah. Karena itu, qiro’ah pertama mendukung pendapat mazhab Hanafi dan Maliki dan qiro’ah keua mendukung pendapat mazhab Syafi’i. Selain itu masing-masing memiliki alasan yang lain.[1]
Perbedaan qiro’ah pada ayat :
   
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki... (QS. Al Maidah : 6)
Dari ayat tersebut sebagian ulama memahami wajib membasuh keduanya dan sebagian lainnya membedakan dengan menyapunya, seperti halnya kepala yang tidak perlu dibasuh. Perbedaan ini timbul dari perbedaan qiro’ah. Nadi’, Ibnu Amr dan Al Kisai membaca   اَرْجُلَكُمْ   dengan nasb (fatah lam), karena di ‘atafkan kepada ma’mul fi’l (obyek kata kerja) gasala. Sedangkan Ibnu Katsir, Abu Amir dan Hamzah membacanya dengan jarr (kasrah lam). Dengan mengambil qiro’ah nasb (fatah lam), jumhur berpendapat wajibnya membasuh kedua kaki dan tidak membedakan dengan menyapunya. Pendapat ini mereka perkuat dengan beberapa hadis. Syi’ah imamiah berpegang pada qiro’ah jarr (kasrah lam) sehingga mereka mewajibkan menyapu kedua kaki dalam wudu’. Pendapat yang sama diriwayatkan juga dari Ibnu Abbas dan Anas bin Malik.
Para ulama juga berbeda pendapat tentang persyaratan berturut-turut (tatabu’) pada puasa kaffarat sumpah. Mazhab Hanafi mensyaratkannya berdasarkan qiro’ah Ibnu Mas’ud, pada QS Al Maidah ayat 89
  
Artinya : “ ... Maka puasa selama tiga hari...”
Pendapat ini juga diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Mujahid. Sementara itu menurut Malik dan Syafi’i berpendapat puasa secara terpisah-pisah karena tatabu’ (berturut-turut) itu merupaka sifat yang tidak wajib kecuali dengan nas atau qiyas mansus (ternas). Menurut mereka baik nas atau qiyas mansus tidak ditemukan dalam hal ini. Hal ini menunjukan bahwa Malik dan Syafi’i  hanya berpegang kepada qiro’ah yang tertulis dalam mushaf. [2]
Penjelasan diatas menunjukan besarnya pengaruh qiro’ah dalam proses penetapan hukum. Sebagian qiro’ah berfungsi sebagai penjelasan kepada ayat yang mujmal (bersifat global menurut qiro’ah yang lain atau penafsiran dan penjelasan kepada maknanya. Bahkan perbedaan qiro’ah menimbulkan perbedaan penetapan hukum di kalangan para ulama’.
Dalam qiro’ah harus ada sanad yang sah. Qiro’ah itu adalah sunah mutabi’ah harus berpedoman kepada catatan-catatan yang betul dan riwayat yang sah. Yang banyak diingkari oleh ahli bahasa Arab ialah qiro’ah yang keluar dari kias atau karena lemahnya kalau ditinjau dari segi bahasa. Ahli qiro’ah itu sendiri tidak ada yang membantah. Untuk menjadi qiro’ah yang baik harus memenuhi rukunnya yakni sesuai dengan bahasa arab, bentuk huurfnya mashaf dan sah sanad-sanadnya.[3]


[1] Ramli Abdul Wahid, Ulumul Quran,(Jakarta : Rajawali Press, 1993) hlm. 124.
[2] Ahmad Syadali, Ulumul Quran I, (Bandung : Pustaka Setia, 1997) hlm. 286.
[3] Mana’ul Quthan, Pembahasan Ilmu Al Quran, (Jakarta : Rineka Cipta, 1993) hlm. 194.



[1] .Abdul Djalal, Ulumul Qur’an, (Surabaya : Dunia Ilmu, 2008). hlm. 331.
[2] Abduh Zulfidar Akaha. , Al Quran dan Qiroat, (Jakarta : Pustaka al kautsar, 1996)  hlm. 56.
[3] Manna ‘Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, (Bogor: Litera Antar Nusa. 2009) hlm. 260.
[4] Abdul Djalal, Op.Cit. hlm. 334.
[5] Manna ‘Khalil al-Qattan, Op.Cit. hlm. 249.
[6] Teungku Muhammad Hasbi Ash shiddieqy, Ilmu-ilmu al-Qur’an, (Semarang : Pustaka Rizki Putra. 2002) hlm. 139.
[7] Abdul Djalal, Op.Cit. hlm. 337.


[1] Supiana dan M. Karman, Ulumul Qur’an dan Pengenalan metodologi tafsir, (Bandung : Pustaka Islamika. 2002). hlm. 210.
[2] Abdul Djalal, Ulumul Qur’an, (Surabaya : Dunia Ilmu, 2008). hlm. 328.