Penjelasan mengenai Qiro’ah dan pengaruhnya terhadap Istinbath hukum
A. Pengertian
Qira’ah
Qira’ah secara bahasa
berarti bacaan, secara terminologi, qiro’ah
sebagaimana dikemukakan oleh al Zarkasyi adalah perbedaan lafazh-lafazh
Al Quran baik menyangkut huruf-hurufnya maupun cara pengucapan huruf tersebut,
seperti tahfif, tasydid dan lain sebagainya. Pengertian qiro’ah ini hanya
terbatas pada lafazh-lafazh Al Quran yang memiliki perbedaan qiro’at. Padahal
menurut pendapat lain lafazh Al Quran yang tidak memiliki perbedaan pendapatpun
dimasukan dalam qiro’at.
Pendapat lain dikemukakan
al Dimyati bahwa qiro’at adalah suatu ilmu untuk mengetahui cara pengucapan
lafazh-lafazh Al Quran baik yang disepakati maupun yang tidak disepakati
(ikhtilaf) oleh para ahli qiro’ah, seperti hadzf (membuang huruf), itsbat
(menetapkan huruf), tahrik (memberi harakat), taskin (memberi sukun), fashl
(memisahkan huruf), washl (menyambungkan huruf), ibdal (menggantikan huruf) dan
lain sebagainya, yang diperoleh melalui periwayatan.
Berdasarkan
rumusan-rumusan diatas maka qiro’ah mempunyai dua sumber yakni al sima’ dan al
naql. Al sima’ artinya bahwa qiro’ah itu
diperoleh secara langsung dengan cara mendengar dari Nabi saw. Al naql artinya
qiro’ah itu diperoleh melalui riwayat yang menyatakan bahwa qiraat Al Quran itu
dibacakan di hadapan Nabi saw. Lalu beliau membenarkan.[1]
Ibn Al Jazari membuat definisi berikut :
اَلْقِرَاءَتُ : عِلْمٌ بِكَيْفِيَّا تِ اَ دَاءِكَلِمَا تِ
الْقُرْآنِ وَاخْتِلاَ فِهَابِعَزْوِالنَّاقِلَةِ
Artinya :
“ Qiro’at adalah pengetahuan tentang cara-cara melafalkan
kalimat-kalimat Al Quran dan perbeaannya dengan membangsakan kepada
penukilnya”.
Menurut
Ibn Al Jazari, Al Muqri adalah seorang yang mengetahui qiro’ah-qiro’ah dan
meriwayatkannya kepada orang lain secara lisan. Jika dia hafal kitab Al Taisir
(kitab qiro’ah) misalnya, ia belum dapat meriwayatkan (yuqri’i) isinya selama
orang yang menerimanya dari gurunya secara lisan tidak menyampaikan kepadanya
secara lisan pula dengan periwayatan yang bersambung-sambung (musalsah). Sebab
dalam masalah qiro’at banyak hal yang tidak dapat ditetapkan kecuali melalui
pendengaran dan penyampaian secara lisan.
Imam Az Zarkasyi dalam
buku Al Burhan Fii Ulumil Qur’an mengingatkan, bahwa al qiro’ah (bacaan) itu
berbeda dengan Al Quran (yang dibaca). Keduanya merupakan dua fakta yang
berlainan. Sebab Al Quran adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad untuk menjadi keterangan dan mukjizat. Sedang qiro’ah ialah perbedan
cara membaca lafal-lafal wahyu tersebut di dalam tulisan huruf-hurufnya yang
menuju jumhur cara itu menuju mutawatir.[2]
Perlu diketahui bahwa Al
Quran yang tercetak belum tentu dapat dijadikan pegangan dalam masalah qiro’ah.
Banyak mushaf yang dicetak di belahan dunia Islam bagian timur berbeda dengan
yang dicetak di Afrika utara misalnya karena qiro’ah yang umum diikuti kedua wilayah itu berbeda.
Bahkan mushaf-mushaf yang ditulis atas perintah Khalifah Usman tidak bertitik
dan tidak berbaris. Karena itu mushaf-mushaf ini dapat dibaca dengan berbagai
qiro’ah.
Rasulullah bersabda :
اِنَّ هَدَاالْقَرْاَنَ اُنْزِلَ عَلَ سَبْعَةِ
اَحْرُ فٍ فَا قْرَ ءُوْامَا تَيَسَّرَ مِنْه
( رواه البخا رى ومسلم )
Artinya :
“ sesungguhnya, Al Quran ini diturunkan atas tujuh huruf
(cara bacaan), maka bacalah (menurut) makna yang engkau anggap mudah”.
(H.R. Bukhari dan Muslim)
Para
sahabat tidak semuannya mengetahui semua cara membaca Al Quran. Sebagian
mengambil satu cara bacaannya dari Rasul, sebagian mengambil dua dan
sebagiannya mengambil lebih, sesuai dengan kemampuan dan kesempatannya
masing-masing.
Meluasnya
wilayah Islam dan menyebarnya para sahabat dan tabi’in yang mengajarkan Al
Quran di berbagai kota menyebabkan timbulnya berbagai macam qiro’ah. Perbedaan
antara satu qiro’ah dan lainnya bertambah besar sehingga sebagian riwayatnya
sudah tidak dapat lagi dipertanggungjawabkan. Para ulama menulis
qiro’ah-qiro’ah ini dan sebagiannya menjadi masyhur sehingga lahirlah istilah
qiro’ah tujuh.
A. Sejarah ilmu
qiro’atil quran
Pada masa hidup Nabi
Muhammad perhatian umat terhadap kitab Al Quran ialah memperoleh ayat-ayat Al
Quran itu, dengan mendengarkan, membaca dan menghafalkannya secara lisan dari
mulut kemulut dari Nabi sampai kepada para imam lainnya. Pada periode pertama
Al Quran belum dibukukan. Hal ini berlangsung sampai pada masa kekhalifahan Abu
Bakar dan Umar. Pada masa mereka kitab Al Quran sudah dibukukan dalam satu
mushaf. Pembukuan Al Quran tersebut merupakan ikhtiar khalifah Abu Bakar atas
inisiatif Umar bin Khatab. Pada masa khalifah Utsman bin Affan, mushaf tersebut
disalin dan dikirim kedaerah-daerah Islam.
Hal tersebut dilakukan
khalifah Utsman karena terjadi perselisihan sesama kaum muslimin di daerah
Azerbeijan mengenai bacaan Al Quran. Mereka berlainan dalam menerima bacaan
ayat-ayat Al Quran karena oleh Nabi diajarkan cara bacaan yang relevan dengan
dialek mereka masing-masing. Tetapi karena tidak memahami maksud tujuan Nabi, lalu
setiap suku atau golongan menganggap hanya bacaan mereka sendiri yang benar
sedang bacaan yang lain salah.
Inilah pangkal perbedaan
qiro’ah dan sejarah tumbuhnya Ilmu Qiro’ah. Untuk meredakan
perselisihan-perselisihan tersebut, khalifah Utsman mengadakan penyalinan
mushaf Al Quran dan mengirimkannya ke berbagai daerah. Dengan mushaf dari
khalifah tersebut digunakan sebagai acuan dalam membaca Al Quran. Setelah itu
muncul para qurra’ yang ahli dalam berbagai cara dalam membaca Al Quran. Mereka
menjadi panutan di daerahnya masing-masing dan menjadi pedoman bacaan serta
cara-cara membaca Al Quran.[1]
Mushaf Abu Bakar pasti
mempunyai keistimewan begitu pula mushaf Utsmaniyah, tetapi perlu diingat bahwa
yang dilakukan Utsman adalah penyalinan yang dikumpulkan pada masa Abu Bakar.
Jadi apa yang menjadi kelebihan mushaf Abu Bakar merupakan kelebihan yang
dimiliki oleh mushaf Utsmani. Namun ada beberapa keistimewaan lain yang ada
pada mushaf Utsmaniyah yang tidak terdapat pada mushaf Abu Bakar.
1. Mushaf Abu Bakar hanya berjumlah satu sedang
mushaf Utsmani berjumlah enam, menurut pendapat
kebanyakan ulama.
2. Dengan jumlah mushaf Utsmani yang banyak maka
lebih memungkinkan untuk mecakup keseluruhan ahruf sab’ah.
3. Pada mushaf Abu Bakar ayat-ayat dalam suratnya
sudah tersusun namun susunan suratnya belum seperti sekarang, sebab pada waktu
itu masing-masing surat tertulis dalam satu tempat kemudian tempat dari
surat-surat itu dikumpulkan tanpa mengurutkan sesuai letaknya yang semestinya.
Pada masa Utsman letak surat-surat itu diurutkan persis seperti pada mushaf
yang sekarang.
4. Mushaf
Utsmani dijadikan sebagai mushaf panutan dalam membaca Al Quran demi keutuhan
dan persatuan kaum muslimin. Sedang mushaf Abu Bakar hanya disimpan dan
dijadikan rujukan jika diperlukan.[2]
B. Macam-macam
Qiro’atil Quran
1.
Ditinjau dari segi banyaknya para qurra’ yang
mengajarkannya ada 3 macam :
a. Qiro’ah sab’ah atau di kenal dengan Qiro’ah
tujuh, adalah qiro’ah yang disandarkan kepada tujuh imam qiro’ah yang masyhur
dan disebutkan secara khusus oleh Abu Bakar bin Mujahid karena menurutnya
mereka adalah ulama yang terkenal hafalan, ketelitian dan cukup lama menekuni
dunia qiro’ah serta setelah disepakati untuk diambil dan dikembangkan
qiro’ahnya, mereka yakni :
1. Nafi’ Al Madani
2. Ibnu Katsir Al Makki
3. Abu Amr bin Al Ala’
4. Ibnu Amir Al Aimisyqi
5. Ashim bin Abi Al Nujud Al Kufi
6. Hamzah bin Habib Al Zayyat
7. Al Kisai [3]
b. Qiro’ah ‘asyrah. Imam atau guru qiro’ah itu
cukup banyak jumlahnya namun yang populer hanya tujuh orang. Akan tetapi para
ulama memilih juga tiga orang imam qiro’ah yang qiro’ahnya dipandang sahih dan
mutawatir. Mereka adalah
1. Abu Ja’far Yazin bin Qo’qo al Madani,
2. Ya’qub bin Ishaq al Hadrami dan
3. Khalaf bin Hisyam.
Jadi, qiro’ah asyrah yaitu qiro’ah yang disandarkan kepada
sepuluh orang ahli qiro’ah, yakni tujuh orang dalam qiro’ah sab’ah di tambah
tiga orang dari qiro’ah ‘asyrah.[4]
Qiro’ah diluar yang kesepuluh orang
tersebut dipandang qiro’ah syaz, seperti qiro’ah Yazidi, Hasan, A’masy,
Ibn Jabir dan lain sebagainya. Meskipun demikian bukan berarti tidak satupun
dari qiro’ah sepuluh tersebut dan bahkan tujuh yang masyhur itu terlepas dari
kesyazan, sebab di dalam qiro’ah-qiro’ah tersebut masih terdapat juga
beberapa kesyazan sekalipun hanya sedikit.[5]
c. Qiro’ah arba’a ‘asyrata, qiro’ah yang
disandarkan kepada 14 orang ahli qiro’ah. Ke 14 orang tersebut ialah 10 orang
ahli qiro’ah ‘asyrah di tambah 4 orang, yakni :
1. Hasan Al Bashry
2. Ibnu Muhaish
3. Yahya Ibnu Mubarak Al Yazidy
4. Abul Faraj Ibnul Ahmad Asy Syambudzy
Banyak yang berpendapat
bahwasanya Al Ahrufus Sab’ah (huruf yang tujuh) yang diturunkan ke dalam
Al Quran, tidak dimaksudkan dengan qiro’at sab’ah (bacaan yang tujuh)
yang masyhur itu. Hal ini ditegaskan karena banyak ulama yang menyangka bahwa
qiro’ah sab’ah ini, itulah yang dimaksudkan dengan huruf yang tujuh. Abu Syamah
di dalam kitab Al Musyidul Wajiz berkata : “ segolongan orang menyangka
bahwasanya qiro’ah sab’ah yang berkembang sekarang, itulah yang dikehendaki di
dalam hadis. Persangkaan yang demikian berlawanan dengan ijma’ semua ahli”
Timbulnya sangkaan yang
demikian karena tindakan Abu Bakar Ahmad ibn Musa ibn Abbas yang terkenal
dengan nama Ibnu Mujahid yang telah berusaha pada penghujung abad ke 3 H di
Baghdad, untuk mengumpulkan tujuh qiro’ah dari 7 imam yang terkenal di Mekkah,
Madinah, Kufah, Basrah dan Syam. Usaha mengumpulkan qiro’ah-qiro’ah yang tujuh
itu adalah secara kebetulan saja karena masih ada imam-imam qiro’ah yang lebih
tinggi derajatnya dari ketiga orang itu dan banyak pula jumlahnya. Abu Abbas
ibn Amma, seorang muqri besar, mencela keras Ibnu Mujahid dan mengatakan usaha
itu akan menimbulkan persangkaan bahwa qiro’ah sab’ah inilah yang dimaksudkan
oleh hadis. Alangkah baiknya kalau yang dikumpulkan itu kurang dari tujuh atau
lebih dari tujuh agar hilang kesamaran tersebut.[6]
2.
Ditinjau dari segi nama jenis
Menurut sebagian ulama, jika ditinjau dari segi nama jenis, macam-macam
qiro’ah itu ada empat, yakni :
a. Qiro’ah yakni untuk nama bacaan yang telah
memenuhi tiga syarat sebagaimana penjelasan diatas seperti qiro’ah sab’ah,
asyrah dan arba’a asyrata.
b. Riwayah yakni nama bacaan yang hanya berasal
dari salah seorang perawi sendiri.
c. Thariq yakni nama untuk bacaan yang sanadnya
terdiri dari orang-orang yang sesudah para perawinya sendiri.
d. Wajah yakni nama untuk bacaan terhadap Al
Quran yang tidak didasarkan sifat-sifat tersebut diatas, melainkan berdasarkan
pilihan pembacanya sendiri.
3.
Ditinjau dari para perawi
Imam As Suyuthi alam buku Al
Otqam menukilkan dari Ibnu Jauzy dalam buku Munjidul Muqri’in menjelaskan bahwa
macam-macam qiro’ah jika ditinjau dari segi perawi-perawinya ada enam macam,
yakni :
a. Qiro’ah mutawatir, yakni qiro’ah yang
diriwayatkan oleh orang banyak dari orang banyak, mereka tidak mungkin
bersepakat dusta. Misalnya qiro’ah sab’ah, menurut jumhur, qiro’ah sab’ah ini
semua riwayatnya adalah mutawatir.
b. Qiro’ah masyhurah, yakni qiro’ah yang sahih
sanadnya seperti diriwayatkan oleh orang-orang adil, dhabit dan seterusnya.
Serta selaras dengan kaidah bahasa arab dan bacaannya cocok dengan salah satu
mushaf Utsmani baik dari qiro’ah sab’ah aaupun qiro’ah asyrah.
c. Qiro’ah ahad, yakni qiro’ah yang sanadnya
sahih tetapi tulisannya tidak cocok dengan mushaf Utsmani dan tidak selaras
dengan kaidah bahasa arab. Qiro’ah seperti ini tidak boleh untuk membaca Al
Quran dan tidak boleh diyakini dari Al Quran.
d. Qiro’ah maudu’ah yaitu bacaan yang dibuat-buat
yang tidak ada asarnya sama sekali, seperti bacaan :
انَّمَا يَخْشَى ا لله مِنْ عِبَا دِهِ
الْعُلَمَا ءِ
e. Qiro’ah mudraj yakni qiro’ah yang bacaannya
ditambah-tambah sebagai penjelasn seperti bacaan Sa’id bin Abi Waqqash وَلَهُ اَوْاّخْتٌ مِنْ اُمٌ ditambah
مِنْ اُمٌ
f. Qiro’ah syadzdzah yakni qiro’ah yang sanadnya
tidak sahih.[7]
A. Pengaruh
Qiro’ah Terhadap Istinbath Hukum
Sebelum masuk kepada pengaruh perbedaan qira’ah terhadap
istinbath hukum, kata istinbath ( إستنباط ) adalah Bahasa Arab yang akar
katanya al-nabth ( النبط ) artinya air yang pertama kali
keluar atau tampak pada saat seseorang menggali sumur. Adapun istinbath menurut
bahasa berarti: “Mengeluarkan air dari mata air (dalam tanah)”, karena itu,
secara umum kata istinbath dipergunakan dalam arti istikhraj ( استخراج ), mengeluarkan. Sedangkan menurut
istilah, yang dimaksud istinbath yaitu: “Mengeluarkan kandungan hukum dari
nash-nash yang ada (al-Qur’an dan al-Sunnah), dengan ketajaman nalar serta
kemampuan yang optimal.” Esensi istinbat yaitu upaya melahirkan ketentuan-ketentuan
hukum yang terdapat baik dalam al-Qur’an maupun al-Sunnah. Mengenai
obyek atau sasarannya yaitu dalil-dalil syar’i baik berupa nash maupun bukan
nash, namun hal ini masih berpedoman pada nash.
Perbedaan
antara satu qiro’ah dan qiro’ah lainnya bisa terjadi pada perbedaan huruf,
bentuk kata, susunan kalimat, i’rab, penambahan dan pengurangan kata. Perbedaan
ini sudah tentu akan membawa sedikit atau banyak, perbedaan kepada makna yang
selanjutnya berpengaruh kepada hukum yang diistinbathnya.
اَنَّ بِاخْتِلاَ
فِ الْقِرَ اءَتِ يَظْهَرُالْاِ خْتِلاَ فُ فِ الْاَحَكَامِ وَ لِهَذَ ا بَنَى
لْفُقَهَاءُ نَقْضَ وُضُوْءِ المَلْمُوْ سِ وَعَدَمَهُ عَلَى ا خْتِلاَ فِ ا لْقِرَ اءَتِ فِى ( لَمَسْتُمْ ) وَ ( لاَ
مَسْتُمْ ) وَ كَذَ لِكَ جَوَ ازُ وَ طَاءِالْحَا ئِظِ عِنْدُ الأِنْقِطَا عِ
وَعَدَ مُهُ اِلَى الْغُسْلِ عَلَى اخْتِلاَ فِهِمْ فِى (حَتَّى يَطْهُرْ نَ )
Artinya:
“ Bahwa dengan perbedaan qiro’ah timbulah perbedaan dalam
hukum. Karena itu, para ulama fiqih membangun hukum batalnya wudu’ orang yang
disentuh (lawan jenis) dan tidak batalnya atas perbedaan qiro’at pada : “kau
sentuh” dan “kamu saling menyentuh”. Demikian juga hukum bolehnya mencampuri
perempuan yang sedang haid ketika terputus haidnya dan tidak bolehnya hingga ia
mandi (dibangun) atas dasar perbedaan mendalam dalam bacaan : “hingga mereka
suci”.
Menurut qiro’ah Nafi’ dan Abu Amr dibaca . حَتَّى يَطْهُرْ نَ
Dan menurut qiro’ah Hamzah dan Al Kisai dibaca حَتَّى يَطَّهَّرْ نَ
Qiro’ah pertama dengan
sukun ta dan dammah ha menunjukan larangan menggauli perempuan itu ketika haid.
Ini berarti bahwa ia boleh dicampuri setelah terpuutsnya haid sekalipun belum
mandi, inilah pendapat Abu Hanifah. Sedangkan qiro’ah kedua dengan tasydit
(suara ganda) ta dan ha menunjukan adanya perbuatan manusia dalam usaha
menjadikan dirinya bersih. Perbuatan ini adalah mandi sehingga يَطَّهَّرْ نَ ditafsirkan يَغْتَسِلْنَ (mandi). Berdasarkan antara qiro’ah-qiro’ah
Hamzah dan Al Kisai, jumhur ulama menfsirkan bacaan yang tidak bertasydid
dengan makna bacaan yang bertasydid
Perbedaab
antara qiro’ah لاَ مَسْتُمُ النِّسَاءَ dan juga mempengaruhi لَمَسْتُمُ النِّسَاءَ perbedaan dalam istinbath
hukum. Menurut mazhab Hanafi dan maliki, semata-mata bersentuhan antara
laki-laki dan perempuan tidak membatalkan wudu’. Sebab menurut Hanafi,
kata لَمَسْتُمْ disini berarti ijma’
(berhubungan kelamin) dan menurut Maliki berarti bersentuhan yang disertai
dengan nafsu. Sedangkan menurut mazhab Syafi’i, bersentuhan semata akan
membatalkan wudu’.
Dari sudut qiro’ah
perbedaan dalam ayat ini jelas menimbulkan perbedaan pengertian. Qiro’ah
pertama mengandung unsur interaksi antara pihak yang menyentuh dan yang
isentuh, baik inteaksinya sampai kepada ijma’ sebagaimana yang ipahami mazhab
Hanafi maupun hanya sampai kepada batas perasaan syahwat sebagaimana yang
dipahami dalam mazhab Maliki. Sebab kata لاَ مَسَ termasuk bentuk kata kerja musyarakah dalam ilmu sharaf.
Sementara itu, qiro’ah لَمَسَ adalah bentuk kata kerja
muta’addin (transiti) yang tidak menganung unsur musyarakah. Karena itu,
qiro’ah pertama mendukung pendapat mazhab Hanafi dan Maliki dan qiro’ah keua
mendukung pendapat mazhab Syafi’i. Selain itu masing-masing memiliki alasan
yang lain.[1]
Perbedaan qiro’ah pada
ayat :
Artinya :
“Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan
tanganmu sampai dengan siku dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai
dengan kedua mata kaki... (QS. Al Maidah : 6)
Dari ayat tersebut sebagian ulama memahami wajib membasuh
keduanya dan sebagian lainnya membedakan dengan menyapunya, seperti halnya kepala yang tidak perlu dibasuh. Perbedaan ini timbul
dari perbedaan qiro’ah. Nadi’, Ibnu Amr dan Al Kisai membaca اَرْجُلَكُمْ
dengan nasb
(fatah lam), karena di ‘atafkan kepada ma’mul fi’l (obyek kata kerja) gasala.
Sedangkan Ibnu Katsir, Abu Amir dan
Hamzah membacanya dengan jarr (kasrah lam). Dengan mengambil qiro’ah nasb
(fatah lam), jumhur berpendapat wajibnya membasuh kedua kaki dan tidak
membedakan dengan menyapunya. Pendapat ini mereka perkuat dengan beberapa
hadis. Syi’ah imamiah berpegang pada qiro’ah jarr (kasrah lam) sehingga mereka
mewajibkan menyapu kedua kaki dalam wudu’. Pendapat yang sama diriwayatkan juga
dari Ibnu Abbas dan Anas bin Malik.
Para ulama juga berbeda pendapat tentang persyaratan
berturut-turut (tatabu’) pada puasa kaffarat sumpah. Mazhab Hanafi
mensyaratkannya berdasarkan qiro’ah Ibnu Mas’ud, pada QS Al Maidah ayat 89
Artinya : “ ... Maka puasa selama tiga hari...”
Pendapat ini juga
diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Mujahid. Sementara itu menurut Malik dan
Syafi’i berpendapat puasa secara terpisah-pisah karena tatabu’ (berturut-turut)
itu merupaka sifat yang tidak wajib kecuali dengan nas atau qiyas mansus
(ternas). Menurut mereka baik nas atau qiyas mansus tidak ditemukan dalam hal
ini. Hal ini menunjukan bahwa Malik dan Syafi’i
hanya berpegang kepada qiro’ah yang tertulis dalam mushaf. [2]
Penjelasan diatas
menunjukan besarnya pengaruh qiro’ah dalam proses penetapan hukum. Sebagian
qiro’ah berfungsi sebagai penjelasan kepada ayat yang mujmal (bersifat global
menurut qiro’ah yang lain atau penafsiran dan penjelasan kepada maknanya.
Bahkan perbedaan qiro’ah menimbulkan perbedaan penetapan hukum di kalangan para
ulama’.
Dalam qiro’ah harus ada
sanad yang sah. Qiro’ah itu adalah sunah mutabi’ah harus berpedoman kepada
catatan-catatan yang betul dan riwayat yang sah. Yang banyak diingkari oleh
ahli bahasa Arab ialah qiro’ah yang keluar dari kias atau karena lemahnya kalau
ditinjau dari segi bahasa. Ahli qiro’ah itu sendiri tidak ada yang membantah.
Untuk menjadi qiro’ah yang baik harus memenuhi rukunnya yakni sesuai dengan
bahasa arab, bentuk huurfnya mashaf dan sah sanad-sanadnya.[3]
[6] Teungku Muhammad Hasbi Ash shiddieqy, Ilmu-ilmu al-Qur’an, (Semarang : Pustaka Rizki Putra. 2002) hlm. 139.